Pengertian Islam Dan Tingkatannya
Kedua
PENGERTIAN ISLAM DAN TINGKATANNYA
PENGERTIAN ISLAM DAN TINGKATANNYA
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
A. Pengertian Islam
Islam secara etimologi (bahasa) berarti tunduk, patuh, atau berserah diri. Adapun menurut syari’at (terminologi), apabila dimutlakkan berada pada dua pengertian:
Islam secara etimologi (bahasa) berarti tunduk, patuh, atau berserah diri. Adapun menurut syari’at (terminologi), apabila dimutlakkan berada pada dua pengertian:
Pertama: Apabila disebutkan sendiri tanpa diiringi dengan kata iman, maka pengertian Islam mencakup seluruh agama, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), juga seluruh masalah ‘aqidah, ibadah, keyakinan, perkataan dan perbuatan. Jadi pengertian ini menunjukkan bahwa Islam adalah mengakui dengan lisan, meyakini dengan hati dan berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla atas semua yang telah ditentukan dan ditakdirkan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang Nabi Ibrahim Alaihissallam [1]:
إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ ۖ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“(Ingatlah) ketika Rabb-nya berfirman kepadanya (Ibrahim), ‘Berserahdirilah!’ Dia menjawab: ‘Aku berserah diri kepada Rabb seluruh alam.’” [Al-Baqarah: 131]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” [Ali ‘Imran: 19]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” [Ali ‘Imran: 85]
Menurut Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahulllah, definisi Islam adalah:
َاْلإِسْلاَمُ: َاْلإِسْتِسْلاَمُ ِللهِ بِالتَّوْحِيْدِ وَاْلإِنْقِيَادُ لَهُ باِلطَّاعَةِ وَالْبَرَاءَةُ مِنَ الشِّرْكِ وَأَهْلِهِ.
“Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan ketaatan, dan berlepas diri dari perbuatan syirik dan para pelakunya.”
Kedua: Apabila kata Islam disebutkan bersamaan dengan kata iman, maka yang dimaksud Islam adalah perkataan dan amal-amal lahiriyah yang dengannya terjaga diri dan hartanya [2], baik dia meyakini Islam atau tidak. Sedangkan kata iman berkaitan dengan amal hati [3].
Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَٰكِن قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِن تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُم مِّنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Orang-orang Arab Badui berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.’” [Al-Hujuraat: 14]
B. Tingkatan Islam
Tidak diragukan lagi bahwa prinsip agama Islam yang wajib diketahui dan diamalkan oleh setiap muslim ada tiga, yaitu; (1) mengenal Allah Azza wa Jalla, (2) mengenal agama Islam beserta dalil-dalilnya [4], dan (3) mengenal Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengenal agama Islam adalah landasan yang kedua dari prinsip agama ini dan padanya terdapat tiga tingkatan, yaitu Islam, Iman dan Ihsan. Setiap tingkatan mempunyai rukun sebagai berikut:
Tidak diragukan lagi bahwa prinsip agama Islam yang wajib diketahui dan diamalkan oleh setiap muslim ada tiga, yaitu; (1) mengenal Allah Azza wa Jalla, (2) mengenal agama Islam beserta dalil-dalilnya [4], dan (3) mengenal Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengenal agama Islam adalah landasan yang kedua dari prinsip agama ini dan padanya terdapat tiga tingkatan, yaitu Islam, Iman dan Ihsan. Setiap tingkatan mempunyai rukun sebagai berikut:
Tingkatan Pertama: Islam
Islam memiliki lima rukun, yaitu:
1. Bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah.
2. Menegakkan shalat.
3. Membayar zakat.
4. Puasa di bulan Ramadhan.
5. Menunaikan haji ke Baitullah bagi yang mampu menuju ke sana.
Islam memiliki lima rukun, yaitu:
1. Bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah.
2. Menegakkan shalat.
3. Membayar zakat.
4. Puasa di bulan Ramadhan.
5. Menunaikan haji ke Baitullah bagi yang mampu menuju ke sana.
Kelima rukun Islam ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ;
َاْلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً.
“Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah jika engkau mampu menuju ke sana.” [5]
Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَحَجِّ الْبَيْتِ.
“Islam dibangun atas lima hal: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah.” [6]
Tingkatan Kedua: Iman
Definisi iman menurut Ahlus Sunnah mencakup perkataan dan perbuatan, yaitu meyakini dengan hati, meng-ikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan, dapat bertambah dengan ketaatan dan dapat berkurang dengan sebab perbuatan dosa dan maksiyat.
Definisi iman menurut Ahlus Sunnah mencakup perkataan dan perbuatan, yaitu meyakini dengan hati, meng-ikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan, dapat bertambah dengan ketaatan dan dapat berkurang dengan sebab perbuatan dosa dan maksiyat.
Iman memiliki beberapa tingkatan, sebagaimana terdapat dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ.
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang atau lebih dari enam puluh cabang, cabang yang paling tinggi adalah ucapan laa ilaaha illallaah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (rintangan) dari jalan, dan malu adalah salah satu cabang iman.” [7]
Rukun Iman ada enam, yaitu:
1. Iman kepada Allah.
2. Iman kepada Malaikat-Malaikat-Nya.
3. Iman kepada Kitab-Kitab-Nya.
4. Iman kepada Rasul-Rasul-Nya.
5. Iman kepada hari Akhir.
6. Iman kepada takdir yang baik dan buruk.
1. Iman kepada Allah.
2. Iman kepada Malaikat-Malaikat-Nya.
3. Iman kepada Kitab-Kitab-Nya.
4. Iman kepada Rasul-Rasul-Nya.
5. Iman kepada hari Akhir.
6. Iman kepada takdir yang baik dan buruk.
Keenam rukun iman ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu dalam jawaban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas pertanyaan Malaikat Jibril Alaihissallam tentang iman, yaitu:
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ اْلآخِِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ.
“Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari Akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik dan buruk.” [8]
Tingkatan Ketiga: Ihsan
Ihsan memiliki satu rukun yaitu engkau beribadah kepada Allah Azza wa Jalla seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu dalam kisah jawaban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jibril Alaihissallam ketika ia bertanya tentang ihsan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
Ihsan memiliki satu rukun yaitu engkau beribadah kepada Allah Azza wa Jalla seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu dalam kisah jawaban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jibril Alaihissallam ketika ia bertanya tentang ihsan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.
“Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka bila engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihatmu.” [9]
Tidak ragu lagi, bahwa makna ihsan secara bahasa adalah memperbaiki amal dan menekuninya, serta mengikhlaskannya. Sedangkan menurut syari’at, pengertian ihsan sebagaimana penjelasan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.
“Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihatmu.”
Maksudnya, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan ihsan dengan memperbaiki lahir dan batin, serta menghadirkan kedekatan Allah Azza wa Jalla, yaitu bahwasanya seakan-akan Allah berada di hadapannya dan ia melihat-Nya, dan hal itu akan mengandung konsekuensi rasa takut, cemas, juga pengagungan kepada Allah Azza wa Jalla, serta mengikhlaskan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan memperbaikinya dan mencurahkan segenap kemampuan untuk melengkapi dan menyempurnakannya.
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
_______
Footnote
[1]. Lihat Mufradat Alfaazhil Qur-aan (hal. 423, bagian سَلِمَ) karya al-‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahaani dan Ma’aarijul Qabul (II/20-21) karya Syaikh Hafizh bin Ahmad al-Hakami, cet. I, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah.
[2]. Terjaga dirinya maksudnya tidak boleh diperangi (dibunuh) dan terjaga hartanya, maksudnya tidak boleh diambil atau dirampas. Sebagaimana terdapat dalam hadits Arba’iin yang kedelapan.
[3]. Lihat Mufradaat Alfaazhil Qur-aan (hal. 423, bagian سَلِمَ) karya al-‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahani, Ma’aarijul Qabuul (II/21) karya Syaikh Hafizh bin Ahmad al-Hakami, cet. I/Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, dan Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam oleh al-Hafizh Ibnu Rajab.
[4]. Artinya memahami Islam sebagai agama dengan dalil-dalilnya yang bersumber dari Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih menurut pemahaman para Shahabat Radhiyallahu anhum.
[5]. HR. Muslim (no. 8), Ahmad (I/27), Abu Dawud (no. 4695), at-Tirmidzi (no. 2610), an-Nasa-i (VIII/97-98) dan Ibnu Majah (no. 63), dari Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab.
[6]. Muttafaqun ‘alaih: HR. Al-Bukhari dalam Kitaabul Iiman bab Du’aa-ukum Imaanukum (no. 8) dan Muslim dalam Kitaabul Iiman bab Arkaanul Islaam (no. 16).
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 9) dan Muslim (no. 35). Lafazh ini milik Muslim dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[8]. HR. Muslim (no. 8), dari Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu.
[9]. HR. Muslim (no. 8), dari Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu.
[10]. Lihat Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (I/126) oleh al-Hafizh Ibnu Rajab, Ma’aarijul Qabul (II/338) oleh Syaikh Hafizh al-Hakami, dan al-Ushuul ats-Tsalaatsah (hal. 66-67) oleh Imam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab t dengan hasyiyah ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim
_______
Footnote
[1]. Lihat Mufradat Alfaazhil Qur-aan (hal. 423, bagian سَلِمَ) karya al-‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahaani dan Ma’aarijul Qabul (II/20-21) karya Syaikh Hafizh bin Ahmad al-Hakami, cet. I, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah.
[2]. Terjaga dirinya maksudnya tidak boleh diperangi (dibunuh) dan terjaga hartanya, maksudnya tidak boleh diambil atau dirampas. Sebagaimana terdapat dalam hadits Arba’iin yang kedelapan.
[3]. Lihat Mufradaat Alfaazhil Qur-aan (hal. 423, bagian سَلِمَ) karya al-‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahani, Ma’aarijul Qabuul (II/21) karya Syaikh Hafizh bin Ahmad al-Hakami, cet. I/Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, dan Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam oleh al-Hafizh Ibnu Rajab.
[4]. Artinya memahami Islam sebagai agama dengan dalil-dalilnya yang bersumber dari Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih menurut pemahaman para Shahabat Radhiyallahu anhum.
[5]. HR. Muslim (no. 8), Ahmad (I/27), Abu Dawud (no. 4695), at-Tirmidzi (no. 2610), an-Nasa-i (VIII/97-98) dan Ibnu Majah (no. 63), dari Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab.
[6]. Muttafaqun ‘alaih: HR. Al-Bukhari dalam Kitaabul Iiman bab Du’aa-ukum Imaanukum (no. 8) dan Muslim dalam Kitaabul Iiman bab Arkaanul Islaam (no. 16).
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 9) dan Muslim (no. 35). Lafazh ini milik Muslim dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[8]. HR. Muslim (no. 8), dari Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu.
[9]. HR. Muslim (no. 8), dari Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu.
[10]. Lihat Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (I/126) oleh al-Hafizh Ibnu Rajab, Ma’aarijul Qabul (II/338) oleh Syaikh Hafizh al-Hakami, dan al-Ushuul ats-Tsalaatsah (hal. 66-67) oleh Imam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab t dengan hasyiyah ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim
Read more https://almanhaj.or.id/3192-pengertian-islam-dan-tingkatannya.html